Beruntunglah Mereka yang Bisa Berdamai dengan Masa Depan
Jika ditanya tentang masa depan, saya tidak akan menjawab
muluk-muluk. Karena keinginan saya dari dulu cukup sederhana; hidup damai. Itu
saja.
Damai versi saya adalah bahagia meski sederhana, bahagia
dengan tidak meminta, bahagia tanpa harus memaksa. Dan satu lagi, hidup damai di antara mimpi dan keinginan,
yang mungkin tidak semua bisa didapatkan.
Lalu ingatan saya terbang jauh ke kota kecil nan damai;
Malang. Sekitar dua tahun yang lalu, di tengah kegalauan tentang masa depan.
Seorang diri saya pergi ke Malang, menjauh dari rutinitas sambil mencari tahu keinginan saya yang sebenarnya.
Dalam kegalauan itu, saya bertemu Pak Albert, pemilik hostel
tempat saya bermalam di Malang. Berkat hostel berkonsep kapsul miliknya, Pak
Albert dipertemukan dengan banyak orang dari berbagai negara; siapa lagi jika
bukan tamu-tamunya yang selalu membuat hostelnya tak pernah sepi.
--
Pagi menjelang siang saya sudah tiba di hostel. Saya tahu belum saatnya check-in, maka saya meminta izin untuk istirahat di lobi. Sekadar duduk di ruangan ber-AC rasanya cukup mengobati rasa lelah setelah semalaman duduk di kereta.
Kebetulan Pak Albert ada di lobi. Saya pun membuka obrolan.
Beliau banyak bercerita tentang hostelnya; tentang ide, konsep, desain, hingga
para tamu yang pernah bermalam di hostel. Idenya ternyata berasal dari
keinginan dirinya dan sang istri yang sudah beberapa kali traveling ke luar
negeri.
"Memang seneng traveling, jadi beberapa kali ke Singapura, ke Jepang. Pernah coba juga untuk nginep di hostel kapsul, itu ya menyenangkan gitu," kata Pak Albert memulai ceritanya.
"Memang seneng traveling, jadi beberapa kali ke Singapura, ke Jepang. Pernah coba juga untuk nginep di hostel kapsul, itu ya menyenangkan gitu," kata Pak Albert memulai ceritanya.
Saya semakin tertarik dengan cerita Pak Albert. Beberapa kali
saya melempar pertanyaan. Dan jawabannya selalu penuh inspirasi.
"Waktu pulang (traveling) itu ada kepikiran juga kok
di Malang nggak ada (hostel kapsul), padahal di Malang kan
banyak destinasi (wisata), terutama di Batu. Banyak sekali (wisatawan) dari
domestik dan mancanegara yang ke Bromo," ceritanya.
"Nah terus akhirnya coba diwujudkan," kenang Pak
Albert.
Saya yang larut dalam cerita ikut membayangkan keseruan yang
dialami Pak Albert dan istrinya; mencintai traveling dan kemudian membuat
fasilitas untuk para pencinta traveling.
"Istriku yang ngatur ini-itu, desain-desainnya, dia
seneng sekali, dia yang paling semangat,” kata Pak Albert mengenang saat-saat
pertama kali mendirikan hostel kapsul.
"Ini patung-patung dari Jepang, istriku yang
pilih," tutupnya.
Sambil menutup cerita, Pak Albert mengajak saya ke lantai dua
untuk menunjukkan tempat tidur yang sudah saya pesan sebelumnya. Sambil menaiki
anak tangga, saya masih terkesima dengan cerita beliau.
Setelah menyiapkan handuk dan selimut, Pak Albert
mempersilakan saya untuk istirahat. Agaknya beliau sadar dari tadi saya menguap
tanda mengantuk. Ia kemudian pamit ke lobi untuk melanjutkan pekerjaannya.
Di atas tempat tidur mungil bertingkat nan nyaman di hostel Pak Albert, diam-diam saya memendam satu keinginan. Kegalauan tentang masa depan yang saya rasakan masih ada. Tapi setidaknya, berkat Pak Albert, saya punya satu keinginan yang nanti ingin diwujudkan.
--
Dua tahun berlalu, tiba-tiba saya teringat kisah Pak Albert. Beliau dan sang istri berhasil berdamai dengan keinginan mereka; keinginan sederhana yang terwujud dari mimpi.
Beruntung. Beruntunglah mereka yang bisa berdamai dengan
mimpinya. Beruntunglah mereka yang bisa berdamai dengan keinginannya.
Beruntunglah mereka yang bisa berdamai dengan masa depannya.
Karena meski sederhana, terkadang mimpi dan keinginan tak
bisa diwujudkan.
Comments
Post a Comment